Wednesday, March 12, 2008

Hukum bersanding dalam islam

Hukum bersanding dalam islam

Artikel ini disalin dari http://f-hasan.blogspot.com/

Musim cuti di Malaysia sekarang ni mesti sibuk dengan kenduri walimatul urus atau lebih dikenali dengan kenduri kawin.. sempena pula seorang adik sedang bertanyakan kenapa persandingan dilarang di dalam islam.. saya tersentuh untuk melampirkan kenapa ia diharamkan dan bagaimana persandingan ini harus dilakukan.. diharap bagi mereka yang akan berkahwin tidak lama lagi akan mendapatkan pengajaran yang sebaiknya..

Hukum Bersanding Mengikut Perspektif Islam

1. Definisi Persandingan: meletakkan suami-isteri yang baru dinikahkan di atas penganjangan (pelamin) dengan berhias indah, berpakaian lengkap, dikipas oleh dua jurukipas dan ditonton oleh orang ramai atau orang tertentu sahaja.

2. Tujuan: antara tujuan utama persandingan ialah untuk ditonton, menjadi kenangan bersejarah, meraikan peluang seumur hidup dan menghayati adat dan budaya nenek moyang.

3. Sejarah: ada dua teori dalam menjelaskan dari mana asalnya persandingan dalam adat Melayu.
Pertama: bahawa persandingan adalah adat resam Melayu tulen. Ini kerana istilah raja sehari itu persis kepada adat istiadat Melayu yang berpaksikan raja (HM Sidin, Adat Resam Melayu, PAP, 1964)

Kedua: Persandingan adalah adat yang diimport dari India. De Jong (Religions in the Malay Archipelago, Oxford Univ. press, 1965) dan Joginder Singh (Tata Rakyat, Longman, 1978) berpendapat ia adalah pengaruh Hindu.

4. Unsur-unsur khurafat dalam persandingan:

(a) Penggunaan beras kunyit pada upacara persandingan ialah bertujuan memberi semangat kepada pengantin berdasarkan kekuningan semangat padi.

(b) Penggunaan jampi mentera untuk menghalau hantu syaitan yang mungkin mengganggu majlis itu.

Hukum Islam Terhadap Persandingan

1. Menabur Beras Kunyit: Jika ia ditabur dengan tujuan menambah semangat dan menghalau roh jahat, maka ia adalah syirik--bercanggah dengan surah al-Fatihah: ayat 5: Thee do we worship, and Thine aid we seek., dan Yunus: 107: If Allah do touch thee with hurt, there is none can remove it but He: if He do design some benefit for thee, there is none can keep back His favour: He causeth it to reach whomsoever of His servants He pleaseth. And He is the Oft-Forgiving, Most Merciful.

2. Membaca Jampi Mentera: Jika beri'tikad bomoh atau pawang itu membaca jampi-mentera dengan tujuan dapat memelihara majlis itu daripada roh jahat, maka dia juga amalan syirik seperti yang dijelaskan di atas.

3. Berandam: Perbuatan andaman yang berbentuk "li tadlis" mengabui/merubah kecantikan yang sebenar adalah haram. Antaranya yang disebut oleh al-hadis: HR Muslim-Muslim dari Abdullah Ibn Mas'ud: "Allah melaknat wanita yang mencucuk tangan dan menaruh warna (tattoo) dan yang meminta berbuat demikian; wanita-wanita yang menghilangkan bulu kening di muka*, wanita yang mengikir gigi dan menjarangkannya supaya kelihatan cantik yang merubah kejadian Allah." (*pengecualian: membuang bulu yang berupa janggut atau misai atau side-burn.)

4. Berhias untuk dipamerkan (tabarruj): Berhias dengan tujuan untuk dipamerkan kepada orang ramai adalah dilarang. Firman Allah (maksudnya), "Janganlah kamu bertabarruj seperti kelakuan orang zaman jahiliah dahulu." (Al-Ahzab: 33)

5. Mengadakan kenduri walimah secara besar-besaran: Hukum sebenar kenduri kahwin ialah sunat sahaja sebagaimana sabda baginda: "Adakanlah kenduri kahwin walaupun hanya dengan seekor kambing."

Islam mencela amalan boros: "Janganlah kamu membazir secara melampau." (Maksud al-Isra': 26)

6. Menjadikan hadiah atau pemberian wang sebagai satu kemestian: Ini berlawanan dengan roh Islam Firman Allah," Allah tidak memberati seseorang melainkan apa yang terdaya olehnya." (2: 286)

7. Mas kahwin dan hantaran yang mahal: Inilah adalah sunah Rasul saw: "Wanita yang paling berkat ialah wanita yang paling murah hantarannya." (HR Ahmad, al-Hakim dan Baihaqi)

Demi meraikan adat: Islam membenarkan persandingan dengan meletakkan syarat:

1. Jika ia disandingkan secara tertutup (di hadapan muhrim atau keluarga terdekat) dan kanak-kanak yang belum mengerti tentang aurat.

2. Jika ingin melakukan secara terbuka diharuskan jika bertujuan iklan dan memperkenalkan mempelai kepada para jemputan dan kaum keluarga dengan syarat kesemua pihak baik pengantin dan para jemputan semua menutup aurat kecuali perhiasan yang biasa dilihat.

Rujukan
1. Prof Muhammad al-Ghazali, Laisa minal Islam.
2. Ibn Taymiyah, Hijab al Mar'ah wa Libasuha.
3. Prof Qardhawi, Fatwa Mu'asirat dan Halal & Haram fil Islam.

Sumber: Tuan Hassan Tuan Lah, "Bersanding dalam Pandangan Islam".

Menikah, Kenapa Takut?

Menikah, Kenapa Takut?

Kita hidup di zaman yang mengajarkan pergaulan bebas, menonjolkan aurat, dan mempertontonkan perzinaan. Bila mereka berani kepada Allah dengan melakukan tindakan yang tidak hanya merusak diri, melainkan juga menghancurkan institusi rumah tangga, mengapa kita takut untuk mentaati Allah dengan membangun rumah tangga yang kokoh? Bila kita beralasan ada resiko yang harus dipikul setelah menikah, bukankah perzinaan juga punya segudang resiko? Bahkan resikonya lebih besar. Bukankankah melajang ada juga resikonya?

Hidup, bagaimanapun adalah sebuah resiko. Mati pun resiko. Yang tidak ada resikonya adalah bahwa kita tidak dilahirkan ke dunia. Tetapi kalau kita berpikir bagaimana lari dari resiko, itu pemecahan yang mustahil. Allah tidak pernah mengajarkan kita agar mencari pemecahan yang mustahil. Bila ternyata segala sesuatu ada resikonya, maksiat maupun taat, mengapa kita tidak segera melangkah kepada sikap yang resikonya lebih baik? Sudah barang tentu bahwa resiko pernikahan lebih baik daripada resiko pergaulan bebas (baca: zina). Karenanya Allah mengajarkan pernikahan dan menolak perzinaan.

Saya sering ngobrol, dengan kawaan-kawan yang masih melajang, padahal ia mampu untuk menikah. Setelah saya kejar alasannya, ternyata semua alasan itu tidak berpijak pada fondasi yang kuat: ada yang beralasan untuk mengumpulkan bekal terlebih dahulu, ada yang beralasan untuk mencari ilmu dulu, dan lain sebagainya. Berikut ini kita akan mengulas mengenai mengapa kita harus segera menikah? Sekaligus di celah pembahasan saya akan menjawab atas beberapa alasan yang pernah mereka kemukakan untuk membenarkan sikap.

Menikah itu Fitrah

Allah Taala menegakkan sunnah-Nya di alam ini atas dasar berpasang-pasangan. Wa min kulli syai’in khalaqnaa zaujain, dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan (Adz-Dzariyaat: 49). Ada siang ada malam, ada laki ada perempuan. Masing-masing memerankan fungsinya sesuai dengan tujuan utama yang telah Allah rencanakan. Tidak ada dari sunnah tersebut yang Allah ubah, kapanpun dan di manapun berada. Walan tajida lisunnatillah tabdilla, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah (Al-Ahzab: 62). Walan tajida lisunnatillah tahwiila, dan kamu tidak akan mendapati perubahan bagi ketetapan kami itu. (Al-Isra: 77)

Dengan melanggar sunnah itu berarti kita telah meletakkan diri pada posisi bahaya. Karena tidak mungkin Allah meletakkan sebuah sunnah tanpa ada kesatuan dan keterkaitan dengan sIstem lainnya yang bekerja secara sempurna secara universal.

Manusia dengan kecanggihan ilmu dan peradabannya yang dicapai, tidak akan pernah mampu menggantikan sunnah ini dengan cara lain yang dikarang otaknya sendiri. Mengapa? Sebab, Allah swt. telah membekali masing-masing manusia dengan fitrah yang sejalan dengan sunnah tersebut. Melanggar sunnah artinya menentang fitrahnya sendiri.

Bila sikap menentang fitrah ini terus-menerus dilakukan, maka yang akan menanggung resikonya adalah manusia itu sendiri. Secara kasat mata, di antara yang paling tampak dari rahasia sunnah berpasang-pasangan ini adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia dari masa ke masa sampai titik waktu yang telah Allah tentukan. Bila institusi pernikahan dihilangkan, bisa dipastikan bahwa mansuia telah musnah sejak ratusan abad yang silam.

Mungkin ada yang nyeletuk, tapi kalau hanya untuk mempertahankan keturunan tidak mesti dengan cara menikah. Dengan pergaulan bebas pun bisa. Anda bisa berkata demikian. Tetapi ada sisi lain dari fitrah yang juga Allah berikan kepada masing-masing manusia, yaitu: cinta dan kasih sayang, mawaddah wa rahmah. Kedua sisi fitrah ini tidak akan pernah mungkin tercapai dengan hanya semata pergaulan bebas. Melainkan harus diikat dengan tali yang Allah ajarkan, yaitu pernikahan. Karena itulah Allah memerintahkan agar kita menikah. Sebab itulah yang paling tepat menurut Allah dalam memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Tentu tidak ada bimbingan yang lebih sempurna dan membahagiakan lebih dari daripada bimbingan Allah.

Allah berfirman fankihuu, dengan kata perintah. Ini menunjukan pentingnya hakikat pernikahan bagi manusia. Jika membahayakan, tidak mungkin Allah perintahkan. Malah yang Allah larang adalah perzinaan. Walaa taqrabuzzina, dan janganlah kamu mendekati zina (Al-Israa: 32). Ini menegaskan bahwa setiap yang mendekatkan kepada perzinaan adalah haram, apalagi melakukannya. Mengapa? Sebab Allah menginginkan agar manusia hidup bahagia, aman, dan sentosa sesuai dengan fitrahnya.

Mendekati zina dengan cara apapun, adalah proses penggerogotan terhadap fitrah. Dan sudah terbukti bahwa pergaulan bebas telah melahirkan banyak bencana. Tidak saja pada hancurnya harga diri sebagai manusia, melainkan juga hancurnya kemanusiaan itu sendiri. Tidak jarang kasus seorang ibu yang membuang janinnya ke selokan, ke tong sampah, bahkan dengan sengaja membunuhnya, hanya karena merasa malu menggendong anaknya dari hasil zina.

Perhatikan bagaimanan akibat yang harus diterima ketika institusi pernikahan sebagai fitrah diabaikan. Bisa dibayangkan apa akibat yang akan terjadi jika semua manusia melakukan cara yang sama. Ustadz Fuad Shaleh dalam bukunya liman yuridduz zawaj mengatakan, “Orang yang hidup melajang biasanya sering tidak normal: baik cara berpikir, impian, dan sikapnya. Ia mudah terpedaya oleh syetan, lebih dari mereka yang telah menikah.”

Menikah Itu Ibadah

Dalam surat Ar-Rum: 21, Allah menyebutkan pentingnya mempertahankan hakikat pernikahan dengan sederet bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta. Ini menunjukkan bahwa dengan menikah kita telah menegakkan satu sisi dari bukti kekusaan Allah swt. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. lebih menguatkan makna pernikahan sebagai ibadah, “Bila seorang menikah berarti ia telah melengkapi separuh dari agamanya, maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah pada paruh yang tersisa.” (HR. Baihaqi, hadits Hasan)

Belum lagi dari sisi ibadah sosial. Dimana sebelum menikah kita lebih sibuk dengan dirinya, tapi setelah menikah kita bisa saling melengkapi, mendidik istri dan anak. Semua itu merupakan lapangan pahala yang tak terhingga. Bahkan dengan menikah, seseorang akan lebih terjaga moralnya dari hal-hal yang mendekati perzinaan. Alquran menyebut orang yang telah menikah dengan istilah muhshan atau muhshanah (orang yang terbentengi). Istilah ini sangat kuat dan menggambarkan bahwa kepribadian orang yang telah menikah lebih terjaga dari dosa daripada mereka yang belum menikah.

Bila ternyata pernikahan menunjukkan bukti kekuasan Allah, membantu tercapainya sifat takwa. dan menjaga diri dari tindakan amoral, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan merupakan salah satu ibadah yang tidak kalah pahalanya dengan ibadah-ibadah lainnya. Jika ternyata Anda setiap hari bisa menegakkan ibadah shalat, dengan tenang tanpa merasa terbebani, mengapa Anda merasa berat dan selalu menunda untuk menegakkan ibadah pernikahan, wong ini ibadah dan itupun juga ibadah.

Pernikahan dan Penghasilan

Seringkali saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah tiba waktu menikah, jika ditanya mengapa tidak menikah, ia menjawab belum mempunyai penghasilan yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah bekerja. Bahkan ia mampu membeli motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang mempunyai mobil. Setiap hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup besar dari penggunakan HP, motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang berpikir demikian apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia?

Saya belum pernah menemukan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. melarang seorang sahabatnya yang ingin menikah karena tidak punya penghasilan. Bahkan dalam beberapa riwayat yang pernah saya baca, Rasulullah saw. bila didatangi seorang sahabatnya yang ingin menikah, ia tidak menanyakan berapa penghasilan yang diperoleh perbulan, melainkan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. Mungkin ia mempunyai cincin besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal sebagian surat Alquran.

Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa Rasulullah saw. tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai masalah, melainkan sebagai pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah beban, melainkan tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan Anda terhadap makan, manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada sebagian ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang terkumpul dalam buku Al-ulamaul uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj. Tetapi, itu bukan untuk diikuti semua orang. Itu adalah perkecualian. Sebab, Rasulullah saw. pernah melarang seorang sahabatanya yang ingin hanya beribadah tanpa menikah, lalu menegaskan bahwa ia juga beribadah tetapi ia juga menikah. Di sini jelas sekali bagaimana Rasulullah saw. selalu menuntun kita agar berjalan dengan fitrah yang telah Allah bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun.

Memang masalah penghasilan hampir selalu menghantui setiap para jejaka muda maupun tua dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab yang terbayang bagi mereka ketika menikah adalah keharusan membangun rumah, memiliki kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua menuntut biaya yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti dalam sejarah hidup manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari mereka yang menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan memapankan diri secara ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka bisa hidup dan beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan persyaratan utama bagi sesorang untuk memasuki dunia pernikahan.

Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah sediakan setelah pernikahan. Artinya, untuk meraih jatah rezki tersebut pintu masuknya menikah dulu. Jika tidak, rezki itu tidak akan cair. Inilah pengertian ayat iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim, jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini adalah jaminan langsung dari Allah, agar masalah penghasilan tidak dikaitkan dengan pernikahan. Artinya, masalah rezki satu hal dan pernikahan hal yang lain lagi.

Abu Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu berkata, “Taatilah Allah dengan menikah. Allah akan memenuhi janjinya dengan memberimu kekayaan yang cukup.” Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji Allah untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai ridha Allah, dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul Quthubi, Al Jami’ liahkamil Qur’an juz 12 hal. 160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut).

Rasulullah saw. pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata, “Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan ridhaNya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni). Dalam hadits lain disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR. Turmudzi dan Nasa’i)

Imam Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah segera, atau saya akan mengulang perkataan Umar Bin Khattab kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu dari pernikahaan kecuali kelemahanmu atau perbuatan maksiat.” (lihat Siyar A’lamun Nubala’ oleh Imam Adz Dzahaby). Ini semua secara makna menguatkan pengertian ayat di atas. Di mana Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada Allah dengan membangun pernikahan.

Persoalannya sekarangan, mengapa banyak orang berkeluarga yang hidup melarat? Kenyataan ini mungkin membuat banyak jejaka berpikir dua kali untuk menikah. Dalam masalah nasib kita tidak bisa mengeneralisir apa yang terjadi pada sebagian orang. Sebab, masing-masing ada garis nasibnya. Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa Anda bertanya demikian? Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa banyak orang yang tadinya melarat dan ternyata setelah menikah hidupnya lebih makmur? Dari sini bahwa pernikahan bukan hambatan, dan kemapanan penghasilan bukan sebuah persyaratan utama.

Yang paling penting adalah kesiapan mental dan kesungguhan untuk memikul tanggung jawab tersebut secara maksimal. Saya yakin bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya. Berzina pun bukan berarti setelah itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia harus memikul beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh anak zina, ia harus menanggung dosa zina. Keduanya tanggung jawab yang kalau ditimbang-timbang, tidak kalah beratnya dengan tanggung jawab pernikahan.

Bahkan tanggung jawab menikah jauh lebih ringan, karena masing-masing dari suami istri saling melengkapi dan saling menopang. Ditambah lagi bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang Allah sediakan. Tidak jarang seorang suami yang bisa keluar dari kesulitan ekonomi karena jatah rezeki seorang istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga yang jatah rezekinya ditopang oleh anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan pernikahan yang tidak hanya saling menopang dalam mentaati Allah, melainkan juga dalam sisi ekonomi.

Pernikahan dan Menuntut Ilmu

Seorang kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu terlebih dahulu, baru setelah itu menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis mencari ilmu. Hampir semua universitas ia cicipi. Usianya sudah begitu lanjut. Bila ditanya kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai mencari ilmu.

Ada sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal mencari ilmu: lau anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa ba’dhiha, seandainya kau infakkan semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau tidak akan mendapatkannya kecuali hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas. Seumur hidup kita tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu. Sementara menikah adalah tuntutan fitrah. Karenanya, tidak ada aturan dalam Islam agar kita mencari ilmu dulu baru setelah itu menikah.

Banyak para ulama yang menikah juga mencari ilmu. Benar, hubungan mencari ilmu di sini sangat berkait erat dengan penghasilan. Tetapi banyak sarjana yang telah menyelesaikan program studinya bahkan ada yang sudah doktor atau profesor, tetapi masih juga pengangguran dan belum mendapatkan pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode studi juga bukan jaminan untuk mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan selalu mendesak tanpa semuanya itu. Di dalam Alquran maupun Sunnah, tidak ada tuntunan keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu atau mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa panggilan untuk segera menikah, terlepas apakah kita sedang mencari ilmu atau belum mempunyai penghasilan.

Berbagai pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak menghalangi seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam mencari ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak yang gagal. Artinya, semua itu tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap berkemauan tinggi untuk mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah menikah kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya, pernikahan adalah bagian dari kehidupan yang harus juga mendapatkan porsinya. Perjuangan seseorang akan lebih bermakna ketika ia berjuang juga menegakkan rumah tungga yang Islami.

Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang sangat mengagumkan dalam masalah pernikahan. Beliau menikah dengan sembilan istri. Padahal beliau secara ekonmi bukan seorang raja atau konglomerat. Tetapi semua itu Rasulullah jalani dengan tenang dan tidak membuat tugas-tugas kerasulannya terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal yang harus dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas sebenarnya tidak perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah menciptakan gelora fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu tidak bisa dipungkiri. Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain mengenai gelora ini. Dan ia sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora ini jika ia terus ditahan-tahan.

Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak mesti harus selesai study dulu. Itu bisa ia lakukan sambil berjalan. Kalaupun Anda ingin mengambil langkah seperti para ulama yang tidak menikah (uzzab) demi ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar seperti para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu tidak maksimal, menikah juga tidak. Bila para ulama uzzab karena saking sibuknya dengan ilmu sampai tidak sempat menikah, apakah Anda telah mencapai kesibukan para ulama itu sehingga Anda tidak ada waktu untuk menikah? Dari sini jika benar-benar ingin ikut jejak ulama uzzab, yang diikuti jangan hanya tidak menikahnya, melainkan tingkat pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.

Kesimpulan

Sebenarnya pernikahan bukan masalah. Menikah adalah jenjang yang harus dilalui dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah yang tidak mungkin diganti dengan cara apapun. Bila Rasulullah menganjurkan agar berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika kondisi memang benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam kondisi normal, sebenarnya tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk menunda pernikahan.

Agar pernikahan menjadi solusi alternatif, mari kita pindah dari pengertian “pernikahan sebagai beban” ke “pernikahan sebagai ibadah”. Seperti kita merasa senang menegakkan shalat saat tiba waktunya dan menjalankan puasa saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa senang memasuki dunia pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa beban. Apapun kondisi ekonomi kita, bila keharusan menikah telah tiba “jalani saja dengan jiwa tawakkal kepada Allah”. Sudah terbukti, orang-orang bisa menikah sambil mencari nafkah. Allah tidak akan pernah membiarkan hambaNya yang berjuang di jalanNya untuk membangun rumah tangga sejati.

Perhatikan mereka yang suka berbuat maksiat atau berzina. Mereka begitu berani mengerjakan itu semua padahal perbuatan itu tidak hanya dibenci banyak manusia, melainkan lebih dari itu dibenci Allah. Bahkan Allah mengancam mereka dengan siksaan yang pedih. Melihat kenyataan ini, seharusnya kita lebih berani berlomba menegakkan pernikahan, untuk mengimbangi mereka. Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu jaminan yang luar biasa bagi mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan membangun pernikahan. Wallahu a’lam bishshawab.

Agar Pernikahan Membawa Berkah

Agar Pernikahan Membawa Berkah

Di saat seseorang melaksanakan aqad pernikahan, maka ia akan mendapatkan banyak ucapan do’a dari para undangan dengan do’a keberkahan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW; “Semoga Allah memberkahimu, dan menetapkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” Do’a ini sarat dengan makna yang mendalam, bahwa pernikahan seharusnya akan mendatangkan banyak keberkahan bagi pelakunya. Namun kenyataannya, kita mendapati banyak fenomena yang menunjukkan tidak adanya keberkahan hidup berumah tangga setelah pernikahan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan keluarga du’at (kader dakwah). Wujud ketidakberkahan dalam pernikahan itu bisa dilihat dari berbagai segi, baik yang bersifat materil ataupun non materil.

Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari permasalahan ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu dirasakan kurang kemudian menyebabkan menurunnya semangat beramal/beribadah. Sebaliknya mungkin juga secara materi sesungguhnya sangat mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta dan kemewahan tidak membawa kebahagiaan dalam pernikahannya.

Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah berkembang kapasitasnya walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya orang yang sudah menikah kepribadiannya makin sempurna; dari sisi wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin sehat dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa, trampil dalam berusaha, bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam aktifitas kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya.

Realitas lain juga menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga, sering muncul konflik suami isteri yang berujung dengan perceraian. Juga muncul anak-anak yang terlantar (broken home) tanpa arahan sehingga terperangkap dalam pergaulan bebas dan narkoba. Semua itu menunjukkan tidak adanya keberkahan dalam kehidupan berumah tangga.

Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga sebagaimana tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi (muhasabah) terhadap diri kita, apakah kita masih konsisten (istiqomah) dalam memegang teguh rambu-rambu berikut agar tetap mendapatkan keberkahan dalam meniti hidup berumah tangga ?

1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)

Motivasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan biologis/fisik. Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT sebagaimana diungkap dalam Alqur’an (QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai sakral dan signifikan. Menikah juga merupakan perintah-Nya (QS. An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan merupakan Sunnah Rasul dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits : ”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku” (HR.At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan sunnah Rasul, maka selayaknya proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi) pernikahan dan bahkan kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh Rasul. Misalnya saat hendak menentukan pasangan hidup hendaknya lebih mengutamakan kriteria ad Dien (agama/akhlaq) sebelum hal-hal lainnya (kecantikan/ketampanan, keturunan, dan harta); dalam prosesi pernikahan (walimatul ‘urusy) hendaknya juga dihindari hal-hal yang berlebihan (mubadzir), tradisi yang menyimpang (khurafat) dan kondisi bercampur baur (ikhtilath). Kemudian dalam kehidupan berumah tangga pasca pernikahan hendaknya berupaya membiasakan diri dengan adab dan akhlaq seperti yang dicontohkan Rasulullah saw.

Menikah merupakan upaya menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya seorang yang telah menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap zina dan mampu mengendalikan syahwatnya. Allah SWT akan memberikan pertolong-an kepada mereka yang mengambil langkah ini; “ Tiga golongan yang wajib Aku (Allah) menolongnya, salah satunya adalah orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi)

Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim (syahsiyah islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan keluarga sebagai ladang beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan (usrah islami) yang diwarnai akhlak Islam dalam segala aktifitas dan interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga muslim pembawa rahmat diharapkan dapat terwujud komunitas dan lingkungan masyarakat yang sejahtera.

2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)

Secara fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling terbuka saat jima’ (bersenggama), padahal sebelum menikah hal itu adalah sesuatu yang diharamkan. Maka hakikatnya keterbukaan itu pun harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran (fikrah), dan sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing dapat secara utuh mengenal hakikat kepribadian suami/isteri-nya dan dapat memupuk sikap saling percaya (tsiqoh) di antara keduanya.

Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal menyangkut perasaan dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang suami/isteri memendam perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk, atau karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang demikian terjadi hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera introspeksi (bermuhasabah) dan mengklarifikasi penyebab masalah atas dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari solusi bersama untuk penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan potensial menjadi sumber konflik berkepanjangan.

3. Sikap toleran (Tasamuh)

Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera (makanan, pakaian, dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena itu masing-masing suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian (seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187), maka suami/isteri harus mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan yang ada (capacity building); dan menutup aurat artinya berupaya meminimalisir kelemahan/kekurangan yang ada.

Prinsip “hunna libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara suami dan isteri harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya suami/isteri telah menjadi satu kesatuan yang tidak boleh dipandang secara terpisah. Kebaikan apapun yang ada pada suami merupakan kebaikan bagi isteri, begitu sebaliknya; dan kekurangan/ kelemahan apapun yang ada pada suami merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri, begitu sebaliknya; sehingga muncul rasa tanggung jawab bersama untuk memupuk kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan yang ada.

Sikap toleran juga menuntut adanya sikap mema’afkan, yang meliputi 3 (tiga) tingkatan, yaitu: (1) Al ‘Afwu yaitu mema’afkan orang jika memang diminta, (2) As-Shofhu yaitu mema’afkan orang lain walaupun tidak diminta, dan (3) Al-Maghfirah yaitu memintakan ampun pada Allah untuk orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, seringkali sikap ini belum menjadi kebiasaan yang melekat, sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari pasangan suami/isteri kadangkala menjadi awal konflik yang berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan” bukan berarti “membiarkan” kesalahan terus terjadi, tetapi mema’afkan berarti berusaha untuk memberikan perbaikan dan peningkatan.

4. Komunikasi (Musyawarah)

Tersumbatnya saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam kehidupan rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis. Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan jalinan cinta kasih juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.

Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa dimanfaatkan, sehingga waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara memberikan perhatian (empati), kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa jawaban atau alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah menunaikan shalat berjama’ah, saat bersama belajar, saat bersama makan malam, saat bersama liburan (rihlah), dan saat-saat lain dalam interaksi keseharian, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa surat, telephone, email, dsb.

Alqur’an dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu berlangsung dalam keluarga Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam QS.As-Shaaffaat:102, yaitu : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata; Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi yang timbal balik antara orang tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog yaitu meminta pendapat pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya keyakinan kuat atas kekuasaan Allah, adanya sikap tunduk/patuh atas perintah Allah, dan adanya sikap pasrah dan tawakkal kepada Allah; sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut dapat terlaksana dengan kehendak Allah yang menggantikan Ismail dengan seekor kibas yang sehat dan besar.

5. Sabar dan Syukur

Allah SWT mengingatkan kita dalam Alqur’an surat At Taghabun ayat 14: ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu mema’afkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga dimana sikap dan tindak tanduk suami/istri dan anak-anak kadangkala menunjukkan sikap seperti seorang musuh, misalnya dalam bentuk menghalangi-halangi langkah dakwah walaupun tidak secara langsung, tuntutan uang belanja yang nilainya di luar kemampuan, menuntut perhatian dan waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap suami/isteri, tidak merasa puas dengan pelayanan/nafkah yang diberikan isteri/suami, anak-anak yang aktif dan senang membuat keributan, permintaan anak yang berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan sebagainya. Jika hal-hal tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati, bukan tidak mungkin akan membawa pada jurang kehancuran rumah tangga.

Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak dapat berpeluang menjadi musuh, maka sepatutnya kita berbekal diri dengan kesabaran. Merupakan bagian dari kesabaran adalah keridhaan kita menerima kelemahan/kekurangan pasangan suami/isteri yang memang diluar kesang-gupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai satu “paket”, dia dengan segala hal yang melekat pada dirinya, adalah dia yang harus kita terima secara utuh, begitupun penerimaan kita kepada anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya. Ibaratnya kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental (asasi) untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak berikut:“Pernikahan adalah Fakultas Kesabaran dari Universitas Kehidupan”. Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih banyak keberkahan.

Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan berumah tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni neraka adalah kaum wanita, disebabkan mereka tidak bersyukur kepada suaminya.

Mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat jerih payah suami seberapapun besarnya dan bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu membanding-bandingkan dengan suami orang lain, adalah modal mahal dalam meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap keberadaan anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah modal masa depan yang harus dipersiapkan.

Dalam keluarga harus dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukan semangat “menuntut” kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan. Inilah wujud tambahnya kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim:7).

Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah, harus diwujudkan dalam bentuk mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani sehingga menjadi keturunan yang menyejukkan hati. Keturunan yang mampu mengemban misi risalah dien ini untuk masa mendatang, maka jangan pernah bosan untuk selalu memanjatkan do’a:

Ya Rabb kami karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap dipandang mata, dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau Ridha-i.

Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan shalat.

Do’a diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat (muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan, sebagaimana diabadikan Allah dalam Alqur’an (QS. Al-Furqon:74; QS. Ash-Shaafaat:100 ; QS.Al-Imran:38; QS. Maryam: 5-6; dan QS. Ibrahim:40). Pada intinya keturun-an yang diharapkan adalah keturunan yang sedap dipandang mata (Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang memiliki sifat penciptaan jasad yang sempurna (thoyyiba), ruhaniyah yang baik (sholih), diridhai Allah karena misi risalah dien yang diperjuangkannya (wali radhi), dan senantiasa dekat dan bersama Allah (muqiimash-sholat).

Demikianlah hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki muwashofaat tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan guru/sekolah yang baik, lingkungan yang sehat, makanan yang halal dan baik (thoyyib), fasilitas yang memadai, keteladanan dalam keseharian, dsb; hendaknya kita selalu memanjatkan do’a tersebut.

6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)

Merawat cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman, maka pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan indah, diantaranya dengan mu’asyarah bil ma’ruf. Rasulullah saw menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang paling baik terhadap isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)

Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi kehidupan berumah tangga akan menciptakan suasana yang nyaman dan indah. Suasana yang demikian sangat penting untuk perkembangan kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian suasana untuk betah tinggal di rumah.

Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan semata dapat diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah tinggal, akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana interaktif antara suami-isteri dan orang tua-anak yang penuh santun dan bijaksana, sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban, kedamain, dan cinta kasih.

Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang mapan. Ketika kondisi ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya ia akan bersikap emosional dan marah-marah, sebab syetan akan sangat mudah mempengaruhinya. Oleh karena itu Rasulullah saw mengingatkan secara berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob). Bila muncul amarah karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan beristigfar dan mohon perlindungan Allah (ta’awudz billah), bila masih merasa marah hendaknya berwudlu dan mendirikan shalat. Namun bila muncul marah karena sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri dan berilah ma’af, karena Allah menyukai orang yang suka mema’afkan. Ingatlah, bila karena sesuatu hal kita telanjur marah kepada anak/isteri/suami, segeralah minta ma’af dan berbuat baiklah sehingga kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang. Sesungguhnya dampak dari kemarahan sangat tidak baik bagi jiwa, baik orang yang marah maupun bagi orang yang dimarahi.

7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)

Hubungan yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati (kemapanan ruhiyah), sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28. “Ketahuilah dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang”. Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi oleh keteguhan hati/ketenangan jiwa, yang bergantung hanya kepada Allah saja (ta’alluq billah). Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan Allah, mustahil seseorang dapat mewujudkan tuntutan-tuntutan besar dalam kehidupan rumah tangga. Rasulullah saw sendiri selalu memanjatkan do’a agar mendapatkan keteguhan hati: “Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbiy ‘alaa diinika wa’ala thoo’atika” (wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam menta’ati-Mu).

Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah), sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam segala aktifitasnya (ma’iyatullah) dan selalu merasa diawasi Allah dalam segenap tindakannya (muraqobatullah). Perasaan tersebut harus dilatih dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga, melalui pembiasaan keluarga untuk melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap dan dimutaba’ah bersama, seperti : tilawah, shalat tahajjud, shaum, infaq, do’a, ma’tsurat, dll. Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat menjadi sarana menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota keluarga, dan yang penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa dimana Allah swt menjamin orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ath-Thalaaq: 2-3.

“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi-nya jalan keluar (solusi) dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (keperluan) nya.”

Wujud indahnya keberkahan keluarga

Keberkahan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah tangga, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di dunia, boleh jadi tidak selalu identik dengan kehidupan yang mewah dengan rumah dan perabotan yang serba lux. Hati yang selalu tenang (muthma’innah), fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah bentuk kebahagiaan yang tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.

Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita sempurnakan dengan 4 (empat) hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah, yaitu : (1) Isteri yang sholihah, (2) Rumah yang luas, (3) Kendaraan yang nyaman, dan (4) Tetangga yang baik.

Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan yang nyaman tanpa harus memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar, silaturahmi, atau menempati rumah dan kendaraan dinas. Paling tidak keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah menyediakan syurga dengan segala kenikmatan yang tak terbatas bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, dan menjadikan segala apa yang ada di dunia ini sebagai cobaan.

Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat, dalam wujud dijauhkannya kita dari api neraka dan dimasukkannya kita dalam syurga. Itulah hakikat sukses hidup di dunia ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Imran : 185

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan kedalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”

Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan memerintahkan kita bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk kedalam syurga; sebagaimana dikhabarkan Allah dengan firman-Nya:

“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”. (QS, Az-Zukhruf:70)

“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan mereka (di syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS. Ath-Thuur:21).

Inilah keberkahan yang hakiki.

Hukum Menikahi Orang Musyrik dan Ahlul Kitab

Hukum Menikahi Orang Musyrik dan Ahlul Kitab



“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah:221)
وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَـئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللّهُ يَدْعُوَ إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Kata musyrikah atau musyrik dalam ayat di atas artinya seorang yang menyekutukan Allah. Imam Al Ashfahani membagi makna al syirk dua macam:

(a) Al Syirkul adziim (syirik besar) yaitu menetapkan sekutu bagi Allah. Termasuk kategori ini makna firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (An-Nisa:48). Dalam ayat lain: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah tersesat sejauh-jauhnya”. (An-Nisa:116)

(b) Al Syirkush Shaghiir (syirik kecil) yaitu mendahulukan selain Allah dalam tindakan tertentu, seperti riya’ (ingin dipuji orang), termasuk dalam kategori ini pengertian ayat: “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” (Yusuf:106), maksudnya mengutamakan kepentingan-kepentingan dunia di atas tujuan-tujuan akhirat (lihat Al Ashfahani, Mufradat alfaadzil Qur’an, h.452).

Para ahli tafsir, dalam menjelaskan kata musyrik selalu mencontohkan dengan agama majusi (penyembah api) dan watsani (penyembah berhala). Ada juga sebagai mufassir yang mendefinisikan musyrik dengan “semua orang kafir yang tidak bergama Islam. Dengan pengertian ini maka umat Yahudi dan Nasrani tergolong musyrik. Dan ayat di atas dengan tegas melarang pernikahan seorang mukmin dengan wanita musyrikah begitu juga sebaliknya seorang mu’minah dengan lelaki musyrik. Mengapa? Karena batasan yang sangat fundamental yaitu perbedaan aqidah. Dari perbedaan aqidah ini akan lahir perbedaan tujuan dan pandangan hidup. Maka tidak mungkin seorang mukmin atau mu’minah yang benar-benar jujur dengan keimanannya rela mengorbankan aqidahnya demi kepentingan dunia. Imam Al Qurthubi menyetir ketetapan ijma’ul ummah bahwa seorang musyrik tidak boleh menikahi seorang mu’minah apapun alasan nya. Imam Asyaukani menyebutkan sebuah riwayat bahwa seorang sahabat bernama Murtsid bin Abi Murtsid pernah didatangi bekas orang yang pernah dicintainya dulu waktu di zaman jahiliyah. Wanita itu lalu minta untuk dizinahi. Murtsid segera menjawab: Wah, itu tidak mungkin, sebab saya sudah masuk Islam, dan Islam telah menjadi penghalang di antara kita. Lalu wanita itu minta agar dinikahi saja. Murtsid berkata: kalau begitu saya akan menemui Rasulullah dulu. Lalu turunlah ayat di atas. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadiir: vol.1, h.244). Dari sini jelas bahwa tidak mungkin seorang yang beriman menikah dengan seorang yang masih kafir. Maka jika ada seorang yang mengaku mu’min atau mu’minah, kemudian ia ternyata rela dan berani melakukan pernikahan dengan seorang yang musyrik atau musyrikah, itu berarti dalam keimanannya ada masalah. Sebab dengan terang-terangan ia telah berani melanggar ketentuan Allah seperti dalam ayat di atas.

Menikahi Wanita Ahlul Kitab (Kitabiyah)

Dalam ayat di atas, hanya disebutkan istilah musyrikah atau musyrik, tetapi belum disebutkan istilah ahlul kitab, sementara di tempat lain Al Qur’an menggunakan istilah ahlul kitab untuk umat Yahudi dan Nasrani. Allah berfirman: “(Kami turunkan Al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: “Bahwa Kitab itu Hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami (yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani)” (Al-An’am:156). Pertanyaannya sekarang apakah ahlul kitab termasuk golongan musyrikiin? Menurut definisi di atas maka ahlul kitab termasuk kaum musyrikiin. Jika demikian bolehkah seorang mu’min menikahi wanita ahlul kitab?

Mayoritas ulama (jumhur) membolehkan seorang mu’min menikah dengan wanita ahlul kitab (dari umat Yahudi atau Nasrani). Dan ini pendapat yang kuat (rajih). Bahkan ada sebagian yang mengatakan –seperti Imam Al Jashshash - tidak ada khilaf di dalamnya, kecuali Abdullah bin Umar yang memandangnya makruh (lihat Al Jashshash, Ahkamul Qur’an, vol. 2, h.324). Namun kendati demikian menikah dengan wanita muslimah tetap harus diutamakan. Sebab pada hakekatnya, di antara hikmah dibolehkannya adalah dalam rangka untuk mengislamkannya. Dan seorang suami mu’min sebagai kepala rumah tangga tentu sangat berperan dan menentukan dalam proses tersebut. Berbeda halnya jika sang istri muslimah dan suami non-muslim. Sang istri tentu sangat berat untuk mempengaruhi sang suami, bahkan bisa dipastikan sang istri akan kewalahan. Sebab tabiat seorang istri biasanya selalu ikut apa kata suami. Atas dasar ini mengapa seorang muslimah tidak boleh bersuamikan seorang ahlul kitab.

Beberapa alasan yang menguatkan bolehnya seorang muslim beristrikan wanita ahlul kitab sebagai berikut:

(a) Bahwa kata musyrikaat pada ayat di atas tidak termasuk ahlul kitab, dalilnya: Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu” (Al-Baqarah:105) Di sini nampak dibedakan antara orang-orang musyrik dengan ahlul kitab. Begitu juga dalam surat Al Bayyinah Allah berfirman: “Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”. (Al-Bayyinah:1). Dikatakan bahwa wawu athf menunjukkan perbedaan (almughayarah). Dengan ini jelas bahwa ahlul kitab bukan orang-orang musyrik. Toh kalaupun dikatakan bahwa mereka tergolong musyrik, maka dengan ayat tersebut nampak adanya pengkhususan, seakan dikatakan: “Tidak boleh menikah dengan wanita musyrikah kecuali wanita ahlul kitab.

(b) Allah berfirman: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi” (Al-Maidah:5). Ini menunjukkan bahwa menikah dengan wanita ahlul kitab hukumnya boleh.

(c) Diriwayatkan bahwa Utsman bin Affan ra. menikah dengan Nailah Al Kalbiyah, wanita Yahudi, begitu juga Thalhah bin Ubaidillah ra. menikah dengan wanita Yahudi dari penduduk Syam. Itu pun tidak ada satupun riwayat yang mengatakan bahwa salah seorang sahabat menentang pernikahan tersebut. Dari sini nampak bahwa mereka bersepakat atas bolehnya menikah dengan wanita ahlul kitab.

Walhasil, bahwa sekalipun pernikahan dengan wanita ahlul kitab hukumnya boleh, namun lebih utama seorang muslim tidak melakukannya. Salah seorang alim besar dalam Madzhab Hanafi, Kamal bin Hammam berkata: Memang boleh menikah dengan wanita ahlul kitab, tetapi lebih baiknya seorang muslim tidak melakukannya, kecuali dalam kondisi darurat” (lihat Al kamal bin Hammam, Fathul Qadiir, Syarhul Hidayah fii fqhil hanafiyah, vol.2, h.372). Pesan Kamal bin Hammam ini ternyata ada dasarnya: diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab pernah menyuruh sahabatnya Hudzaifah untuk menceraikan istrinya yang tergolong kaum Yahudi. Hudzaifah bertanya: Apakah kamu melihat bahwa pernikahan seperti ini hukumnya haram? Umar menjawab: Tidak, tetapi saya takut hal ini kelak menjadi contoh yang diikuti banyak orang. Umar benar dalam sikapnya ini, sebab jika kemudian pernikahan seperti tersebut, benar-benar menjadi fenomena umum, bagaimana nantinya nasib wanita-wanita muslimah? Dan perlu diingat bahwa diantara hikmah dibolehkannya menikah dengan kitabiyah adalah supaya wanita kitabiyah itu masuk ke pangkuan Islam melalui pernikahan. Jika diperkirakan itu tidak mungkin terjadi, para ulama memakruhkan. Oleh sebab itu ada kondisi di mana seorang muslim dimakruhkan menikah dengan kitabiyah: Pertama, wanita tersebut harbiyah (mempunyai jiwa menyerang, tidak mungkin dipengaruhi dan bahkan mungkin akan menyebabkan hancurnya moral anak-anak yang dilahirkan, serta tidak mustahil ia akan mempengaruhi sang suami) (lihat, Ibid, vol.2. h. 372). Kedua, adanya wanita muslimah yang bisa dinikahi. Imam Ibn Taymiah mengatakan: “Makruh hukumnya menikah dengan wanita kitabiyah sementara di saat yang sama masih ada wanita-wanita muslimah”(lihat, alikhtiyaraat alfiqhiyah min fatawa syaikhil Islam Ibn Taymiah, h. 217).

Menikah Dengan Laki-laki Ahlul Kitab

Ayat di atas menegaskan: dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Dalam konteks ini tidak ditemukan ayat lain yang mengkhususkannya, seperti ayat mengenai menikah dengan wanita kitabiyah. Artinya tidak ada keterangan lain mengenai hukum boleh-tidaknya menikah dengan laki-laki ahlul kitab, kecuali ayat di atas. Bila disebutkan bahwa ahlul kitab tergolong orang-orang musyrik, maka berdasarkan ayat di atas tidak boleh seorang muslimah menikah dengan laki-laki musyrik. Berbeda jika wanitanya ahlul kitab dan calon suamimya muslim, itu dibolehkan karena adanya ayat lain yang menegaskan bolehnya sebagaimana telah diterangkan tadi.

Jelasnya, bahwa seorang wanita muslimah tidak boleh dalam kondisi apapun menikah dengan seorang yang musyrik, termasuk laki-laki Yahudi dan Nasrani, karena al Qur’an telah menyebutkan bahwa mereka tergolong kafir. Allah berfirman: “Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”. (QS. 98:1). Lebih dari itu mereka juga akan selalu mempengaruhi istrinya agar menjadi kafir, yang dengannya ia bisa masuk neraka, Allah berfirman pada ayat di atas: mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya”.

Kerena itulah Allah menekankan dengan sangat tegas bahwa menikah dengan seorang mukmin tetap lebih utama, sekalipun ia seorang budak: walaamatun mu’minatun khairun min musyrikatin walau a’jabatkum (Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu). Lalu dipertegas lagi pada ayat berikutnya: wala ‘abdun mu’minun khairun min musyrikin walau a’jabakum (Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu). Perhatikan, penegasan ini tidak mengandung penfsiran lain keculai bahwa yang harus diutamakan dalam pernikahan adalah kesamaan akidah. Sebab dari kesamaan akidah akan mudah menentukan kesamaan tujuan sekaligus kesamaan cara hidup. Dan hanya dengan ini kelak upaya untuk saling membantu dalam mentaati Allah (at ta’aawun bil birri wat taqwa) akan lebih tercipta, di mana dari sini kebahagiaan hakiki akan dicapai, tidak saja di dunia melainkan juga di akhirat. Wallhu a’lam bish shawab.

Membentuk Keluarga Sakinah wa Rahmah

Membentuk Keluarga Sakinah wa Rahmah

Memasuki dunia baru bagi pasangan baru, atau lebih dikenal dengan pengantin baru memang merupakan suatu yang membahagiakan. Tetapi bukan berarti tanpa kesulitan. Dari pertama kali melangkah ke pelaminan, semuanya sudah akan terasa lain. Lepas dari ketergantungan terhadap orang tua, teman, saudara, untuk kemudian mencoba hidup bersama orang – yang mungkin – belum pernah kenal sebelumnya. Semua ini memerlukan persiapan khusus (walaupun sebelumnya sudah kenal), agar tidak terjebak dalam sebuah dilema rumah tangga yang dapat mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Diantara persiapan yang harus dilakukan oleh pasangan baru yang akan mengarungi bahtera rumah tangga:
Persiapan mental. Perpindahan dari dunia remaja memasuki fase dewasa – di bawah naungan perkawinan – akan sangat berpengaruh terhadap psikologis, sehingga diperlukan persiapan mental dalam menyandang jabatan baru, sebagai ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga. Kalaupun sekarang anda telah terlanjur menyandang predikat tersebut sebelum anda sempat berpikir sebelumnya, anda belum terlambat. Anda bisa memulainya dari sekarang, menyiapkan mental anda lewat buku-buku bacaan tentang cara-cara berumah tangga, atau anda dapat belajar dari orang-orang terdekat, yang dapat memberikan nasehat bagi rumah tangga anda
engenali Pasangan. Kalau dulu orang dekat anda adalah ibu, teman, atau saudara anda yang telah anda kenal sejak kecil, tetapi sekarang orang yang nomor satu bagi anda adalah pasangan anda. Walaupun pasangan anda adalah orang yang telah anda kenal sebelumnya, katakanlah dalam masa pacaran, tetapi hal ini belumlah menjamin bahwa anda telah benar-benar mengenal kepribadiannya. Keadaannya lain. Masa pacaran dengan lingkungan rumah tangga jauh berbeda. Apalagi jika pasangan anda adalah orang yang belum pernah anda kenal sebelumnya. Disini perlu adanya penyesuaian-penyesuaian. Anda harus mengenal lebih jauh bagi pasangan anda, segala kekurangan dan kelebihannya, untuk kemudian anda pahami bagaimana sebaiknya anda bersikap, tanpa harus mempersoalkan semuanya. Karena sesungguhnya anda bersama pasangan anda hidup dalam rumah tangga untuk saling melengkapi satu dengan yang lainnya, sehingga tercipta keharmonisan.
Menyusun agenda Kegiatan. Kesibukan anda sebagai ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga tentunya akan lebih banyak menyita waktu di banding ketika anda masih sendiri. Hari-hari kemarin bisa saja anda mengikuti segala macam kegiatan yang anda sukai kapan saja anda mau. Persoalannya sekarang adalah anda tidak sendiri, kehadiran pasangan anda disamping anda tidak boleh anda abaikan. Tetapi anda tak perlu menarik diri dari aktifitas atau kegiatan yang anda butuhkan. Anda dapat membuat agenda untuk efektifitas kerja, anda pilah, dan anda pilih kegiatan apa yang sekiranya dapat anda ikuti sesuai dengan waktu yang anda miliki dengan tanpa mengganggu tugas anda sebagai ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga.
Mempelajari kesenangan pasangan. Perhatian-perhatian kecil akan mempunyai nilai tersendiri bagi pasangan anda, apalagi di awal perkawinan anda. Anda dapat melakukannya dengan mempelajari kesenangan pasangan anda, mulai dari selera makan, kebiasaan, hobi yang tersimpan dan lainnya. Tidak menjadi masalah jika ternyata apa yang disenanginya tidak anda senangi. Anda bisa mempersiapkan kopi dan makanan kesukaannya disaat pasangan anda yang punya hobi membaca sedang membuka-buka buku. Atau anda bisa sekali-kali menyisihkan waktu untuk sekedar mengantar pasangan anda berbelanja, untuk menyenangkan hatinya. Atau kalau mungkin anda bisa memadukan hobi anda yang ternyata sama, dengan demikian anda telah memasang saham kasih sayang di hati pasangan anda sebagai kesan pertama, karena kesan pertama akan selalu diingatnya. Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda (kayak iklan saja). Dan anda bisa menjadikannya sebagai kebiasaan yang istimewa dalam rumah tangga anda.
Adaptasi lingkungan. Lingkungan keluarga, famili dan masyarakat baru sudah pasti akan anda hadapi. Anda harus bisa membawa diri untuk masuk dalam kebiasaan-kebiasaan (adat) yang ada di dalamnya. Kalau anda siap menerima kehadiran pasangan anda, berarti pula anda harus siap menerimanya bersama keluarga dan masyarakat disekitarnya. Awalnya mungkin anda akan merasa asing, kaku, tapi semuanya akan terbiasa jika anda mau membuka diri untuk bergaul dengan mereka, mengikuti adat yang ada, walaupun anda kurang menyukainya. Sehingga akan terjalin keakraban antara anda dengan keluarga, famili dan lingkungan masyarakat yang baru. Karena hakekat pernikahan bukan perkawinan antara anda dan pasangan anda, tetapi, lebih luas lagi antara keluarga anda dan keluarga pasangan anda, antara desa anda dengan desa pasangan anda, antara bahasa anda dengan bahasa pasangan anda, antara kebiasaan (adat) anda dengan kebiasaan pasangan anda. Dst.
Menanamkan rasa saling percaya. Tidak salah jika suatu saat anda merasa curiga dan cemburu. Tetapi harus anda ingat, faktor apa yang membuat anda cemburu dan seberapa besar porsinya. Tidak lucu jika anda melakukannya hanya dengan berdasar perasaan. Hal itu boleh saja untuk sekedar mengungkapkan rasa cinta, tetapi tidak baik juga kalau terlalu berlebihan. Sebaiknya anda menanamkan sikap saling percaya, sehingga anda akan merasa tenang, tidak diperbudak oleh perasaan sendiri. Yakinkan, bahwa pasangan anda adalah orang terbaik yang anda kenal, yang sangat anda cintai dan buktikan juga bahwa anda sangat membutuhkan kehadirannya, kemudian bersikaplah secara terbuka.
Musyawarah. Persoalan-persoalan yang timbul dalam rumah tangga harus dihadapi secara dewasa. Upayakan dalam memecahkan persoalan anda mengajak pasangan anda untuk bermusyawarah. Demikian juga dalam mengatur perencanaan-perencanaan dalam rumah tangga, sekecil apapun masalah yang anda hadapi, semudah apapun rencana yang anda susun. Anda bisa memilih waktu-waktu yang tepat untuk saling tukar pikiran, bisa di saat santai, nonton atau dimana saja sekiranya pasangan anda sedang dalam keadaan bugar.
Menciptakan suasana Islami. Suasana Islami ini bisa anda bentuk melalui penataan ruang, gerak, tingkah laku keseharian anda dan lain-lain. Sholat berjama’ah bersama pasangan anda, ngaji bersama (tidak perlu setiap waktu, cukup habis maghrib atau shubuh), mendatangi majlis ta’lim bersama dan memnbuat kegiatan yang Islami dalam rumah tangga anda. Hal ini akan menambah eratnya ikatan bathin antara anda dan pasangan anda. Dari sini akan terbentuk suasana Islami, Sakinah, Mawaddah wa Rahmah. Insya’allah. (assyarif/mus)

Mendidik Anak Cara Nabi Ibrahim

Mendidik Anak Cara Nabi Ibrahim



Kawinilah wanita yang kamu cintai lagi subur (banyak melahirkan) karena aku akan bangga dengan banyaknya kamu terhadap umat lainnya. [HR. Al-Hakim]

Begitulah anjuran Rasulullah saw kepada umatnya untuk memiliki anak keturunan.

Sehingga lahirnya anak bukan saja penantian kedua orang tuanya, tetapi suatu hal yang dinanti oleh Rasulullah saw. Dan tentu saja anak yang dinanti adalah anak yang akan menjadi umatnya Muhammad saw. Berarti, ada satu amanah yang dipikul oleh kedua orang tua, yaitu bagaimana menjadikan atau mentarbiyah anak—yang titipan Allah itu—menjadi bagian dari umat Muhammad saw.

Untuk menjadi bagian dari umat Muhammad saw. harus memiliki karakteristik yang disebutkan oleh Allah swt.:

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu Kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. [QS. Al-Fath, 48: 29]

Jadi karakteristik umat Muhammad saw adalah: [1] keras terhadap orang Kafir, keras dalam prinsip, [2] berkasih sayang terhadap sesama umat Muhammad, [3] mendirikan shalat, [4] terdapat dampak positif dari aktivitas shalatnya, sehingga orang-orang yang lurus, yang hanif menyukainya dan tentu saja orang-orang yang turut serta mentarbiyahnya.

Untuk mentarbiyah anak yang akan menjadi bagian dari Umat Muhammad saw. bisa kita mengambil dari caranya Nabi Ibrahim, yang Allah ceritakan dari isi doanya Nabi Ibrahim dalam surat Ibrahim berikut ini:

Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Aku Telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur.

Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.

Segala puji bagi Allah yang Telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha mendengar (memperkenankan) doa.

Ya Tuhanku, jadikanlah Aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.

Ya Tuhan kami, beri ampunlah Aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)”. [Ibrahim: 37-41]

Dari doanya itu kita bisa melihat bagaimana cara Nabi Ibrahim mendidik anak, keluarga dan keturunannya yang hasilnya sudah bisa kita ketahui, kedua anaknya—Ismail dan Ishaq—menjadi manusia pilihan Allah:

Cara pertama mentarbiyah anak adalah mencari, membentuk biah yang shalihah. Representasi biah, lingkungan yang shalihah bagi Nabi Ibrahim Baitullah [rumah Allah], dan kalau kita adalah masjid [rumah Allah]. Maka, kita bertempat tinggal dekat dengan masjid atau anak-anak kita lebih sering ke masjid, mereka mencintai masjid. Bukankah salah satu golongan yang mendapat naungan Allah di saat tidak ada lagi naungan adalah pemuda yang hatinya cenderung kepada masjid.

Kendala yang mungkin kita akan temukan adalah teladan—padahal belajar yang paling mudah itu adalah meniru—dari ayah yang berangkat kerjanya ba’da subuh yang mungkin tidak sempat ke masjid dan pulangnya sampai rumah ba’da Isya, praktis anak tidak melihat contoh shalat di masjid dari orang tuanya. Selain itu, kendala yang sering kita hadapi adalah mencari masjid yang ramah anak, para pengurus masjid dan jamaahnya terlihat kurang suka melihat anak dan khawatir terganggu kekhusu’annya, dan ini dipengaruhi oleh pengalamannya selama ini bahwa anak-anak sulit untuk tertib di masjid.

Cara kedua adalah mentarbiyah anak agar mendirikan shalat. Mendirikan shalat ini merupakan karakter umat Muhammad saw sebagaimana yang uraian di atas. Nabi Ibrahim bahkan lebih khusus di ayat yang ke-40 dari surat Ibrahim berdoa agar anak keturunannya tetap mendirikan shalat. Shalat merupakan salah satu pembeda antara umat Muhammad saw dengan selainnya. Shalat merupakan sesuatu yang sangat penting, mengingat Rasulullah saw memberikan arahan tentang keharusan pembelajaran shalat kepada anak: suruhlah anak shalat pada usia 7 tahun, dan pukullah bila tidak shalat pada usia 10 tahun. Rasulullah saw membolehkan memukul anak di usia 10 tahun kalau dia tidak melakukan shalat dari pertama kali disuruh di usia 7 tahun. Ini artinya ada masa 3 tahun, orang tua untuk mendidik anak-anaknya untuk shalat. Dan waktu yang cukup untuk melakukan pendidikan shalat.

Proses tarbiyah anak dalam melakukan shalat, sering mengalami gangguan dari berbagai kalangan dan lingkungan. Dari pendisiplinan formal di sekolah dan di rumah, kadang membuat kegiatan [baca: pendidikan] shalat menjadi kurang mulus dan bahkan fatal, terutama cara membangun citra shalat dalam pandangan anak. Baru-baru ini, ada seorang suami yang diadukan oleh istrinya tidak pernah shalat kepada ustadzahnya, ketika ditanya penyebabnya, ternyata dia trauma dengan perintah shalat. Setiap mendengar perintah shalat maka terbayang mesti tidur di luar rumah, karena ketika kecil bila tidak shalat harus keluar rumah. Sehingga kesan yang terbentuk di kepala anak kegiatan shalat itu tidak enak, tidak menyenangkan, dan bahkan menyebalkan. Kalau hal ini terbentuk bertahun-tahun tanpa ada koreksi, maka sudah bisa dibayangkan hasilnya, terbentuknya seorang anak [muslim] yang tidak shalat.

Cara keempat adalah mentarbiyah anak agar disenangi banyak orang. Orang senang bergaul dengan anak kita, seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah saw: “Berinteraksilah dengan manusia dengan akhlaq yang baik.” [HR. Bukhari]. Anak kita diberikan cerita tentang Rasulullah saw, supaya muncul kebanggaan dan kekaguman kepada nabinya, yang pada gilirannya menjadi Rasulullah menjadi teladannya. Kalau anak kita dapat meneladani Rasulullah saw berarti mereka sudah memiliki akhlaq yang baik karena—sebagaimana kita ketahui—Rasulullah memiliki akhlaq yang baik seperti pujian Allah di dalam al-Quran: “Sesungguhnya engkau [Muhammad] berakhlaq yang agung.” [Al-Qalam, 68: 4]

Cara ketiga adalah mentarbiyah anak agar dapat menjemput rezki yang Allah telah siapkan bagi setiap orang. Anak ditarbiyah untuk memiliki life skill [keterampilan hidup] dan skill to life [keterampilan untuk hidup]. Rezki yang telah Allah siapkan Setelah itu anak diajarkan untuk bersyukur.

Cara keempat adalah mentarbiyah anak dengan mempertebal terus keimanan, sampai harus merasakan kebersamaan dan pengawasan Allah kepada mereka.

Cara kelima adalah mentarbiyah anak agar tetap memperhatikan orang-orang yang berjasa—sekalipun sekadar doa—dan peduli terhadap orang-orang yang beriman yang ada di sekitarnya baik yang ada sekarang maupun yang telah mendahuluinya.

Bercinta cintaan sebelum berkahwin

Soalan :
assalamualaikum.apakah hukumnya orang yang bercinta cintaan sebelum berkahwin?dan apakah hukumnya memberi salam kepada lelaki yang bukan muhrim?.

Jawapan : Wa'alaikumussalam wbt
Bercinta sebelum kahwin hukumnya harus sekiranya perbuatan itu tidak melanggar batas-batas syarak.Tidak salah memberi salam kepada kenalan manakala menjawab salam adalah wajib..

Soal Jawab Poligami

1. Saya berumur 36 seorang yg telah berkhwin hampir tiada masalah dgn perhubungan kami.apa yang berlaku ketika ini ialah saya ingin poligami atau beristeri seorang lagi.keputusan saya buat ini adalah at Hasrat tuan untuk berpoligami, tuan dinasihatkan supaya membuat permohonan poligami di Jabatan Agama Islam yang berhampiran. Tindakan tuan untuk berkahwin di luar negara sewajarnya dielakkan. Uruslah perkahwinan secara poligami ini secara jujur dan penuh tanggungjawab. Untuk berpoligami saudara hendaklah mempunyai kemampuan dari aspek fizikal, mental dan kewangan agar kehidupan berpoligami berada dalam keadaan aman dan bahagia.
2. saya ada kawan yang nak kawin. saya sendiri xtau nak jawab. soalan saya, kawan saya bersetuju menjadi isteri kedua. lelaki sanggup mengahwininnya tetapi isteri suami tersebut tidak mengizinkan dan me Bagi suami yang ingin berpoligami hendaklah mendapatkan kebenaran daripada pihak Mahkamah Syariah. Pihak mahkamah yang akan menentukan sama ada suami layak atau tidak untuk berpoligami.
3. blh x poligami tanpa persetujuan isteri pertama. ada x agensi yg blh menguruskannya? harap di beri jawapn kpd kemusykilan in Bagi suami yang ingin berpoligami hendaklah mendapatkan kebenaran daripada pihak Mahkamah Syariah. Pihak mahkamah yang akan menentukan sama ada suami layak atau tidak untuk berpoligami. . Bagi sesetengah negeri pula pihak suami perlu mendapatkan keizinan isteri pertama untuk berpoligami.
4. Saya dan teman lelaki ingin berkahwin.Tetapi isterinya tidak mahu berpoligami dan tidak mahu menandatangani borang poligami.Disebabkan ini,kami tidak dapat bernikah. Adakah cara lain untuk saya berni Islam mengharuskan poligami sekiranya suami itu berkemampuan dari segi fizikal dan kewangan. Terdapat perbezaan antara Akta/Enakmen antara negeri-negeri berkaitan keizinan isteri pertama untuk poligami. Oleh itu, langkah yang paling baik berbincang dengan ahli keluarga cadangan untuk berpoligami. Sekiranya ada persetujuan bolehlah membuat permohonan poligami di Mahkamah Syariah yang berdekatan.
5. apakah syarat-syarat berpoligami mengikut hukum agama dan undang-undang negara kita. adakah lelaki perlu mendapatkan keizinan dari isterinya dahulu sebelum bernikah dengan perempuan lain dan bagaiman Menurut hukum syara’ seorang lelaki muslim boleh berpoligami sehingga empat orang isteri dan dia hendaklah berlaku adil menurut tuntutan agama. Pada peringkat awal lelaki muslim digalakkan berkahwin dengan janda yang suaminya syahid di medan perang. Di atas keperihatinan terhadap anak dan janda tersebut Rasulullah menggalakkan mereka yang masih hidup mengahwini wanita-wanita yang kematian suami. Pada masa kini negara kita menguatkuasa enekman syariah di setiap negeri. Salah satu anekmen termasuklah undang-undang keluarga dan poligami. Mungkin terdapat beberapa perbezaan kecil yang menghendaki suami perlu mendapatkan keizinan isteri atau kelulusan mahkamah dan seumpamanya bagi meneruskan hasrat tersebut.
6. Tuan, saya seorang yang sudah berkahwin tetapi saya telah berkenalan dengan seorang wanita dan kami telah terlanjur. Saya ingin berkahwin dengan wanita ini tetapi isteri saya tidak membenarkannya. Pe Sebaik-baiknya tuan hendaklah bertanggungjawab di atas sebarang perbuatan/ keterlanjuran tersebut. Saudara hendaklah berlaku jujur dan berjumpa dengan kedua ibu bapa wanita tersebut bagi menyelesaikan masalah tersebut. Manakala masalah ketidakizinan isteri saudara perkara ini boleh diselesaikan di mahkamah dengan membuat permohonan untuk berpoligami
7. A.kum.Baru-baru ini kami telah mendaftarkan perkahwinan di siam dan telah dipanggil ke mahkamah syariah buat petama kali.Bolehkah tuan terangkan apakah prosedure mahkamah seterusnya.Adakah kes kami a Saudari perlu menunggu keputusan daripada mahkamah syariah berkenaan untuk memastikan perkahwinan tersebut sah jika memenuhi syarat-syarat perkahwinan yang ditetapkan dan berkemungkinan didenda kerana berkahwin di luar negara.Denda berkenaan akan ditentukan oleh hakim mahkamah syariah berkenaan.Tempoh masa bagi mendafar perkahwinan tersebut terletak di bawah bidang kuasa mahkamah syariah berkenaan.
8. Tuan/Puan, Saya dan bakal suami ingin melangsungkan perkahwinan dlm tempoh yg terdekat.Masalahnya di sini,calon suami telah pun berkahwin dan merancang untuk berpoligami (bersama saya).Sebaiknya kami Saudara boleh memohon untuk berpoligami di mahkamah syariah yang berhampiran.Untuk berpoligami memerlukan syarat-syarat tertentu seperti kedudukan kewangan yang mantap untuk menanggung kedua-dua isteri selain daripada kebenaran isteri bagi sesetengah prosedur berpoligami di mahkamah syariah yang berkaitan.Oleh itu saudara bolehlah menghubungi pegawai di unit pendaftaran poligami di mahkamah syariah yang berdekatan.
9. Saya telah bernikah lebih 13thn dulu. Saya & suami adalah warganegara spura. Kami mempunyai 3 org anak. Suami saya mengaku dihadapan anak2 bahwa dia telahpun bernikah lagi. Dia juga telah membuat per Suami puan boleh meguruskan pendaftaran poligami di Jabatan Agama Islam Negeri yang berhampiran di talian telepon 03-22749333 dengan menghubungi Ketua Pendaftar unit Nikah ,Cerai, Rujuk Jabatan Agama Islam Wilayah Persekutuan ( JAWI).
10. Assalamualaikum ustaz, Saya ada sedikit masalah & amat memerlukan pandangan/bantuan ustaz. Saya berumur 38 thn, bekerja, pernah berkahwin 7 thn yg lalu. Namun jodoh saya tidak pjg hanya sekdr beberap Alasan suami tersebut untuk mencari pasangan baru seharusnya dibuat perbincangan yang mendalam dengan keluarga terdekat bagi kedua-dua belah pihak agar tidak menimbulkan suasana yang tidak harmoni di dalam rumahtangga berkenaan.Dirikanlah sembahyang istikaharah dan mohon pertunjuk daripada Allah terhadap bakal suami ini, samada sesuai ataupun tidak.Isteri berkenaan perlu diubati dengan apa cara sekalipun bagi memulihkan ingatannya.Dia telah berkorban selama ini untuk membesarkan anak-anaknya seramai 9 orang.Fikirkanlah
11. Assalamualaikum ustaz, Saya ada sedikit masalah & amat memerlukan pandangan/bantuan ustaz. Saya berumur 38 thn, bekerja, pernah berkahwin 7 thn yg lalu. Namun jodoh saya tidak pjg hanya sekdr beberap Alasan suami tersebut untuk mencari pasangan baru seharusnya dibuat perbincangan yang mendalam dengan keluarga terdekat bagi kedua-dua belah pihak agar tidak menimbulkan suasana yang tidak harmoni di dalam rumahtangga berkenaan.Dirikanlah sembahyang istikaharah dan mohon pertunjuk daripada Allah terhadap bakal suami ini, samada sesuai ataupun tidak.Isteri berkenaan perlu diubati dengan apa cara sekalipun bagi memulihkan ingatannya.Dia telah berkorban selama ini untuk membesarkan anak-anaknya seramai 9 orang.Fikirkanlah masa hadapan saudari dengan mendalam agar tidak menimbulkan sebarang masalah di kemudian hari.

Soal jawab munakahat

Soalan :
Assalamualaikum,
 
Apakah sah ta'liq yang dilafazkan dan dipersetujui oleh pihak yang bersetuju tetapi tidak tidak dilakukan didalam suatu majlis?

 
Jika sah, apakah akan jatuh talak jika si isteri telah melanggar salah satu perkara dari ta'liq tersebut, tetapi perbuatan itu dilakukan tanpa niat, tanpa disedari atau tidak disengajakan?
 
Apakah sesuatu ta'liq tadi itu masih berkuatkuasa/sah setelah si suami rujuk ke atas si isteri?
 
  Diharap pihak tuan dapat membantu saya dalam kemusykilan ini, sekian wassalam
   
  Jawapan :
Ta'liq yang dilafazkan dan dipersetujui akan menjadi sah, sekiranya sesuatu perbuatan yang dilakukan memenuhi syarat yang telah disyaratkan dalam ta'liq tersebut.
 
Ta'liq tetap akan jatuh walaupun dilakukan tanpa niat, tanpa disedari atau tidak sengaja.
 
  3. Talaq ta'liq akan gugur setelah suami rujuk kepada isteri.




Soalan :
  Adakah dalam Islam dibolehkan bersanding walaupun tanpa bertepung tawar, saya jadi keliru. adakah sekadar untuk mengambil gambar diatas pelamin sememangnya tidak boleh ke?
   
  Jawapan :
Persandingan merupakan budaya yang dicedok daripada masyarakat Hindu seperti juga berinai. Di dalam Islam tidak disyariatkan perbuatan tersebut.

  2. Namun jika bertujuan sebagai kenang-kenangan, ia diharuskan tetapi perlulah diikuti dengan beberapa syarat.
     
    i) Memastikan pasangan pengantin menutup aurat.
    ii) Tidak mempertontonkan secara terbuka kepada yang bukan mahram.
    iii) Pakaian dan perhiasan selaras dengan kehendak syara'







Soalan :
Soalan :

 
Apakah jatuh talak oleh suami terhadap isterinya dengan niat untuk bergurau semata-mata?

 


 
Jawapan :

 
Hukumnya jatuh talak walaupun dengan berniat gurauan semata-mata. Sabda Rasulullah S.A.W "Tiga perkara sekiranya bersungguh-sungguh dengan dikira sungguh iaitu nikah, talak dan memerdekakan hamba".










2




Soalan :
Assalamualaikum ustaz,
 
Saya baru melangsungkan perkahwinan sebulan yang lalu, di sini saya ingin bertanya adakah benar haram hukumnya jika suami isteri memanggil pasangan masing-masing dengan gelaran mama dan baba?

Jika benar haram hukumnya, bagaimanakah caranya untuk kami bertaubat bagi membetulkan kembali kesalahan ini.

Diharap ustaz dapat membantu saya, ini adalah kerana saya amat bingung dengan perkara ini.
 
  Terima kasih
   
  Jawapan :
  Tidak berdosa memanggil pasangan masing-masing dengan gelaran mama & baba. Ini adalah kerana Islam tidak meletakkan satu panggilan khusus bagi pasangan suami dan isteri ketika berinteraksi antara satu sama lain. Walaubagaimanapun Islam menggalak-kan suami isteri memanggil dengan panggilan yang paling disukai oleh pasangan masing-masing. Dengan cara yang demikian, hubungan antara suami isteri akan men-jadi mesra dan kehidupan akan bertambah harmonis









Soalan :
Assalamualaikum;
 
Harap berikan tempoh edah dan perkara2 yang tidak boleh dilakukan oleh isteri dalam tempoh itu. Harap mendapat jawapan bagi soalan ini.
 
  Terima Kasih,
   
  Jawapan :
  Tempoh Edah Bagi Isteri Yang Kematian Suami :-
  1. Jika Isteri mengandung edahnya ialah dengan lahir anaknya.
Jika tidak mengandung edahnya 4 bulan 10 hari.
 
  Larangan Dalam Masa Edah
  1. Tidak boleh berhias seperti memakai pakaian berwarna dengan tujuan bersolek.
  2. Tidak boleh memakai gelang waktu siang hari.
  3. Tidak boleh memakai bahan yang wangi pada badan, pakaian dan makanan.
  4.
 
  5.
 
Tidak boleh menunaikan haji dan umrah dalam masa edah.
 
  Perempuan yang meninggalkan berkabung adalah berdosa.





Soalan :
  Saya telah sebulan mendirikan rumahtangga. Masalah yang kami hadapi sekarang ialah kami belum pernah lagi melakukan hubungan seks. Kerana disebabkan beberapa faktor seperti isteri takut, tiada keinginan, keletihan dan tinggal berasingan. Adakah ianya tidak menjadi kesalahan.
Saya ada terdengar orang menyatakan bahawa kalau sampai sesuatu masa (3 kali suci) kita masih belum melakukan hubungan seks, maka kita boleh berdosa. Betul ke ustaz?
   
  Jawapan :
Suami bertanggungjawab memberi nafkah zahir dan batin kepada isteri. Nafkah batin : hubungan seks.
 
  Adalah menjadi kesalahan jika suami tidak menunaikannya. Mahkamah Syariah boleh mengambil tindakan kepada suami sekiranya isteri membuat aduan di Pejabat Agama atau Mahkamah Syariah.















Soalan :
Seseorang wanita Islam bersekedudukan dengan lelaki yang bukan Islam atau sebaliknya tanpa nikah yang halal. Bagaimanakah kedudukan anak pasangan tersebut dan boleh dianggap Islam?

 
Jawapan :
Hukum bersekedudukan antara wanita Islam dan lelaki bukan Islam atau sebaliknya adalah haram dan dianggap zina. Perbuatan ini dikutuk dan dilaknat Allah. Anak yang lahir dari persetubuhan yang haram adalah mengikut nasab ibunya, jika ibunya Islam maka anaknya juga Islam atau sebaliknya.



Soalan :
  Assalamualaikum Dato' Mufti. Saya ingin bertanya, Apakah boleh saya lakukan apabila saya berada dalam keadaan was-was contohnya masalah saya ialah saya tertanya adakah saya ada melafazkan cerai kepada isteri saya.
   
  Adakah ada didalam Islam kaedah yang boleh digunakan ketika kita menghadapi rasa was-was seperti di atas?. Saya amat tertekan dengan masalah ini dan berharap Dato' Mufti dapat membantu saya.sekian terima kasih.
   
  Jawapan :
  Waalaikumussalam,
Hadis nabi berbunyi : "Was-was itu daripada syaitan"
Was-was adalah mainan syaitan. Syaitan sentiasa ingin merosakkan amalan umat Nabi Muhammad yang beriman. Sekiranya saudara sentiasa dibelenggu perasaan was-was, maka selalulah mengucapkan ta'awuz. Dan jangan melayan perasaan was-was tersebut. Bawalah mengingati Allah, hanya dengan mengingati Allah, hati akan menjadi tenang.


















Soalan :
Assalamu'alaikum ustaz..
Ustaz, apakah hukumnya sah atau tidak seorang lelaki menikahi seorang perempuan yang telah telah mengandung 3 bulan sedangkan lelaki ini tidak mengetahui dengan pasti siapakah bapa kepada kandungan tersebut memandang-kan perempuan itu mengamalkan seks bebas. Perempuan tersebut juga pernah mengakui dihadapan lelaki ini dan ibunya bahawa anak dalam kandungan tersebut bukan anak kepada lelaki ini. Saya minta penjelasan ustaz berkenaan perkara berikut :
     
i. Adakah sah pernikahan mereka berdua.
ii.

iii. Jika kami sebagai keluarga kepada lelaki ini apakah yang patut kami lakukan.
   

Saya amat memerlukan jawapan daripada ustaz sendiri kerana saya telah bertanya-kan kepada beberapa orang yang dianggap memahami agama tetapi memperolehi jawapan yang berbeza-beza.

   
Jawapan :
i. Nikah sah.
ii.
 
iii.






Soalan :
Assalammualaikum.
 
  Saya ada seorang teman wanita yang merupakan sepupu dua kali kepada ibu saya. Bermaksud ibunya dan nenek saya bersepupu sekali. Mengikut nenek teman wanita saya tersebut (makcik bongsu kepada nenek saya), perhubungan kami adalah tidak dibenarkan melainkan saya perempuan dan teman saya itu lelaki. Tidak pasti jika ia hanya sekadar adat lama (Melayu Sarawak) atau sebaliknya. Mohon ustaz/ustazah dapat berikan panduan dan pandangan. Terima kasih.
 
 
  Jawapan :
  Jika encik hendak mengahwini wanita yang encik maksudkan tiada halangan memandangkan hubungan kekeluargaan itu telah jelas. Namun jika merujuk kepada Enakmen Undang-Undang Keluarga Negeri Selangor 2003 ;
Pertalian yang melarang perkahwinan ;
   
  a. ibunya atau bapanya.
  b.
 
  c.
 
  d.
 
  e.
 
  f. Ibu saudara atau bapa saudara sebelah ibunya hingga ke atas.
  g. Ibu saudara atau bapa saudara sebelah bapa hingga ke atas.




Soalan :
Assalamualaikum
 
Apakah hukum seorang isteri yang keluar bersama rakan-rakan yang tidak disukai oleh suaminya. Namun demikian suaminya akan mengizinkan pada rakan yang tertentu sahaja, apa hukumnya pula, jika isterinya berjumpa dengan rakan yang dizinkan (setelah diizinkan) bersama-sama dengan rakan-rakan yang tidak disukai oleh suaminya itu pada masa yang sama. Beerti suaminya tidak tahu mengenai kehadiran rakan-rakan isterinya yang lain.
 
  Harap ustaz tidak terkeliru dengan persoalan saya ini.
   
  Jawapan :
  1.
   
  2.
   
  3.
   
  4.





Soalan :
  Assalamualaikum
  1.
 
   
  2.
 
   
  3.
   
 
 
  Jawapan :
  1.
 
   
  2.
 
   
  3.
   
     
  Manakala soal fasakh dan caranya adalah lebih baik puan merujuk kepada Pejabat Agama Daerah yang berhampiran dengan puan di talian 55143400 (Talian umum JAIS). Puan boleh berhubung dengan Pegawai Khidmat Kaunseling di Ibu Pejabat untuk mendapatkan keterangan lanjut dan sekaligus mendapatkan khidmat nasihat yang bersesuaian dengan masalah rumahtangga puan di talian 55143461 / 55143460.




Soalan :
Assalammualaikum.
 
Saya mempunyai satu kemusykilan tentang hukum mengenai talak.

Jika seorang suami telah berkata ' jika kau keluar, jatuh talak satu' kepada isteri tetapi isteri itu tetap keluar dari pintu rumah.

Walau bagaimanapun, sebelum turun dari tangga apartment, si suami telah menarik isteri tersebut dan membawanya masuk semula ke rumah.
 
 
 


Dan sebenarnya si isteri juga dalam waktu itu telah mengandung cuma belum diketahui dan belum disahkan oleh Dr.
 
  Semoga tuan dapat menjawab soalan ini.
 
   
  Jawapan :
Jatuh talak, talak taklik dan ia tidak boleh ditarik balik walaupun dilafazkan ketika mengantuk. Persoalan isteri ditalak taklik ketika mengandung juga sah tetapi tempoh iddah lebih panjang iaitu selepas bersalin. Walaubagaimanapun jika ia talak pertama atau kedua boleh dirujuk kembali dalam iddah dengan persetujuan si isteri. Dan perlu didaftarkan di Pejabat Agama Islam Daerah yang berhampiran untuk mengelak berlaku perkara yang tidak diingini. Setiap penceraian dan rujuk semula mesti ada hitam putih bagi mengelakan kekeliruan dan salah faham.
 
  Pasangan ini perlu mendapatkan khidmat nasihat ditalian berikut : Bahagian Perundangan Keluarga 03-55143641 atau 03-55143460 untuk mendapatkan pandangan dan nasihat lebih lanjut.



Soalan :
  Assalamualaikum,
Saya ingin suatu jawapan bagi soalan yang akan saya ceritakan ini.
 
  Saya mempunyai seorang kenalan. Baru-baru ini, dia telah mengaku mengandung 3 bulan anak luar nikah. Hasil perhubungan sulitnya dengan teman lelakinya sendiri. Mereka telah mengisafi perbuatannya. Tetapi, dia dalam dilema samada ingin menggugurkan kandungan tersebut atau tidak. Di samping itu, dia juga mahukan kandungan tersebut. Disebabkan masalah ini dan takut untuk memberitahu kepada keluarga masing-masing, dia telah meminta saya bertanya tentang samada mereka perlu bernikah dahulu sebelum mendaftarkan pernikahan. Padahal mereka tidak pernah mengikuti khusus pra perkahwinan dan menjalani ujian darah ? Saya ingin pendapat daripada pihak jabatan agama agar perkara ini tidak berlarutan dan menjaga kebaikan kedua-dua pihak yang telah mengakui kesalahan.
 
  Jawapan :
  -
 
   
  - Menggugurkan kandungan adalah HARAM.

Soalan :
  Saya telah 20 tahun bekeluarga dan mempunyai anak, 2 lelaki dan 2 perempuan. Suami saya telah melakukan sumbang mahram dengan anak perempuan sulong dari kecil lagi tanpa pengetahuan saya. Saya tahu perkara ini 3 tahun yang lepas, tetapi demi kasih dan sayang kepada beliau dan anak anak tanpa bapa, saya memaafkan beliau dan terus hidup sebagai suami isteri. Walau bagaimanapun, perkara tersebut berulang lagi dan saya memutuskan untuk berpisah dengan dia tanpa memberi alasan sebenar kepada jabatan agama. Saya sedang menunggu perbicaraan dengan mahkamah syariah. Saya teramat kesal , tertekan dan bersalah dengan anak saya kerana mementingkan keperluan saya daripada kejadian yang menimpa beliau.
 
Soalannya:
  Apa hukum perbuatan saya dan hidup bersama beliau selepas mengetahui perbuatan beliau ?
 
  Saya amat menyayangi suami saya dan masih tidak boleh terima beliau sanggup melakukan perkara terkutuk. Hingga kini saya masih teringatkan beliau dan masih berharap perkara ini tidak berlaku....
     
  Jawapan :
  1.
   
     
  2.
   



Soalan :
  Assalamualaikum.
saya mempunyi masalah dengan suami saya. dia seorang kaki pukul. dan saya selalu mengadu dengan seorg kawan baik (llelaki) sahaja. Segala masalah saya luahkan pada kawan saya. Pada hari yang sama suami telah berkata, " jika saya keluar dengan lelaki maka jatuh talak"
 
Soalan :
  1.
 
   
 
 
   
  Soalan :
1. Adakah saya masih sah sebagai isterinya @ sebaliknya?
   
  2.
   
  Jawapan :
  1.
 
  2.
 
  3.
   




Soalan :
  Assalamualikum,
 
Saya menetap di Pasir Gudang Johor. Soalan saya adalah
   
  Adakah sah lafaz cerai itu sekiranya si suami yang berada dalam keadaan marah kerana si isteri tidak mahu menoleh ke arah nya setelah dipanggil berkali-kali lalu melafazkan "kalau awak tak pandang saya, saya ceraikan awak" dan tiba-tiba si isteri yang berlalu pergi itu menoleh ke belakang dan pandang ke arah si suami?
 
 
Jawapan :
Waalaikumsalam
 
  Lafaz cerai secara taklik oleh suami akan gugur (Jatuh talak) sekiranya telah berlaku perlanggaran taklik oleh isteri. Dalam kes ini, tidak jatuh talak kerana isteri tuan tidak melanggar taklik tersebut.



Soalan :
Assalamualaikum
 
Ketika saya belajar di sekolah dulu, Guru saya mengajar kepada saya bahawa anak luar nikah tidak boleh ber Bin atau Binti kepada Ayah nya, sebaliknya hendaklah ber Bin atau Binti kepada Ibunya, Oleh kerana untuk menjaga masa depan Anak Itu maka boleh la di Bin atau Binti pada Abdullah.
 
  Tetapi pada masa ini, saya lihat ramai orang yang mem Bin atau Binti kan Anak Luar Nikah dengan bapa sebenar, Apakah hukumnya, dan bagaimana urusan pernikahan anak itu kelak?.
   
Jawapan :
 
  1.

 
  2.
   











Soalan :
Assalamualaikum,

Saya ingin bertanya berkaitan talak:
 
1. Jika pasangan suami-isteri telah disabitkan talaq khulu', bagaimana caranya mereka untuk rujuk semula?

2. Saya pernah terdengar ada beberapa jenis talaq yang memerlukan akadnikah baru untuk menjadi suami isteri semula.jadi apakah jenis-jenis perceraian tersebut?

3. Sekiranya akad-nikah semula dijalankan, adakah perkahwinan itu memberi kesan bilangan kepada pasangan?Adakah bilangan talaq akan berkurang atau sebaliknya?
   
  Saya amat mengharapkan jawapan dari pihak tuan. saya juga ucapakan terima kasih di atas bantuan yang diberikan
   
Jawapan :
Assalamualaikum,
 
Cerai khulu' hendaklah bernikah semula untuk kembali sebagai suami isteri.
 
2. Cerai khulu', taklik khulu', fasakh, perceraian dengan talak 1 dan 2 setelah tamat eddah.
 
3.




Soalan :
  Assalammualaikum.
  Saya ada kemusykilan berkaitan topik ZIHAR, bolehlah tolong bagi nasihat sekiranya tidak keberatan.
  Begini ceritanya; Saya baru beberapa bulan berumahtangga. Saya suka bergurau senda dan melawak dengan isteri (walaupon lawak bodoh). Lawak bodoh camne pon, isteri tetap gelak... tapi kalau dia tak gelak, saya akan paksa dia gelak...
    Ade satu hari tuh saya bernyanyi-nyanyi mengiringi iklan di TV, "... who's next your mother, who's next your mother... and then your father...". Sambil menyanyi tuh saya melakukan aksi-aksi menambah perisa, kemudian tah camne saya boleh tersebut, "... my mother.." sambil jari menunjuk kearah isteri. Serentak itu kami tersentak, dan teringatkan tentang ZIHAR .
 
   
  Soalannya, jatuh ZIHAR ke?
  Walaupun saya tidak menyamakan anggota badan isteri dengan Mahram saya?
  Apa yang sepatutnya saya lakukan?
   
  Jawapan :
  Maksud zihar adalah menyamakan isteri dengan mahram. Sebutan tersebut tidak termasuk zihar.

MAHAR ( MAS KAHWIN ) MENURUT PERSEPEKTIF ISLAM

MAHAR ( MAS KAHWIN ) MENURUT PERSEPEKTIF ISLAM

Definisi Mahar
Mahar berasal daripada perkataan Arab. Di dalam al-Quran istilah mahar disebut
dengan al-sadaq, al-saduqah, al-nihlah, al-ajr, al-faridah dan al-‘aqd.
Menurut istilah syara’ mahar ialah suatu pemberian yang wajib diberikan oleh
suami kepada isteri dengan sebab pernikahan.
Mengikut Tafsiran Akta Undang-Undang Keluarga Islam ( Wilayah Persekutuan )
1984 menyatakan “ mas kahwin “ bererti pembayaran perkahwinan yang wajib dibayar
di bawah Hukum Syara’ oleh suami kepada isteri pada masa perkahwinan
diakadnikahkan, sama ada berupa wang yang sebenarnya dibayar atau diakui sebagai
hutang dengan atau tanpa cagaran, atau berupa sesuatu yang, menurut Hukum Syara’,
dapat dinilai dengan wang.

Terdapat banyak dalil yang mewajibkan mahar kepada isteri antaranya firman
Allah dalam surah al-Nisa’ ayat 4 :
“ Dan berikanlah kepada perempuan-perempuan ( isteri ) akan mas kahwin mereka itu
sebagai pemberian ( yang wajib ). Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebahagian dari mas kahwinnnya, maka makanlah ( gunakanlah ) pemberian tersebut sebagai
nikmat yang baik lagi lazat “

Firman Allah Ta’ala dalam surah al-Nisa ayat 24:
“ Mana-mana perempuan yang kamu nikmati percampuran dengannya ( setelah dia
menjadi isteri kamu ) maka berikanlah mereka maharnya ( ajr ) sebagai satu ketetepan yang
difardhu ( diwajibkan oleh Allah Taala )”

Pemberian mahar suami sebagai lambang kesungguhan suami terhadap isteri.
Selain itu ianya mencerminkan kasih sayang dan kesediaan suami hidup bersama isteri
serta sanggup berkorban demi kesejahteraan rumah tangga dan keluarga. Ia juga
merupakan penghormatan seorang suami terhadap isteri.

Walau bagaimanapun mahar tidaklah termasuk di antara rukun-rukun nikah atau
syarat sahnya sesuatu pernikahan. Sekiranya pasangan bersetuju bernikah tanpa
menentukan jumlah mahar, pernikahan tersebut tetap sah tetapi suami diwajibkan
membayar mahar misil ( yang sepadan ). Ini berdasarkan satu kisah yang berlaku pada
zaman Rasulullah s.a.w. di mana seorang perempuan telah berkahwin tanpa disebutkan
maharnya. Tidak lama kemudian suaminya meninggal dunia sebelum sempat bersama
dengannya ( melakukan persetubuhan ) lalu Rasulullah mengeluarkan hukum supaya
perempuan tersebut diberikan mahar misil untuknya.








Pemberian Mahar
Memberi mahar kepada isteri hukumnya wajib. Menurut Abu Hanifah, isteri
berhak mendapat mahar apabila akad nikahnya sah. Manakala dalam mazhab Syafi’e
pula diwajibkan mahar bukan disebabkan akad nikah yang sah sahaja tetapi juga
dengan persetubuhan. Sekiranya akad nikah tersebut fasid ( tidak sah ), suami tidak
wajib memberi mahar kepada isteri melainkan setelah berlakunya persetubuhan.


Mas Kahwin Dan Pemberian Menurut Peruntukan Undang-Undang Keluarga
Islam
Mengikut peruntukan seksyen 21 ( 1 ) dan ( 2 ) dalam Akta Undang-Undang
Keluarga Islam ( Wilayah Persekutuan ) 1984 ( Akta 303 ) berbunyi seperti berikut :

(1) Mas kahwin hendaklah biasanya dibayar oleh pihak lelaki atau wakilnya
kepada pihak perempuan atau wakilnya di hadapan orang yang mengakadnikahkan
perkahwinan itu dan sekurang-kurangnya dua orang saksi lain.

(2) Pendaftar hendaklah, mengenai tiap-tiap perkahwinan yang hendak
didaftarkan olehnya, menentu dan merekodkan :-
a) nilai dan butir-butir lain mas kahwin;
b) nilai dan butir-butir lain pemberian;
c) nilai dan butir-butir lain apa-apa bahagian mas kahwin atau pemberian
atau kedua-duanya yang telah dijanjikan tetapi tidak dijelaskan pada
masa akad nikah itu, dan tarikh yang dijanjikan untuk penjelasan; dan
d) butir-butir cagaran yang diberi bagi menjelaskan mas kahwin atau
pemberian.




Kadar Mahar
Islam tidak menetapkan kadar serta had yang paling maksima dan minima dalam
menentukan mahar bagi seseorang wanita. Ianya bergantung kepada uruf iaitu keadaan
semasa dan suasana sesuatu tempat dan masyarakat. Sungguh pun demikian, Islam
menganjurkan agar kita mengambil jalan tengah iaitu tidak meletakkan mahar terlalu
tinggi dan tidak pula terlalu rendah. Rasulullah s.a.w. menggalakkan kita agar
mempermudahkan mahar sebagaimana dalam sabdanya :
" اعظم النساء برآة أيسرهن مؤنة "
Kebanyakan perempuan yang berkat perkahwinannya ialah yang mudah ( rendah ) tentang
perbelanjaan ( mahar ).
( Riwayat Ahmad dan al-Hakim )
Walau bagaimanapun suami boleh memberikan mahar yang tinggi kepada isteri
berdasarkan kepada ayat al-Quran dalam surah al-Nisa’ ayat 20 :
“ Kamu telah memberikan kepada salah seorang daripada mereka harta yang banyak “
Di Malaysia pemberian mahar diberikan oleh suami kepada isteri dalam bentuk
wang ringgit yang kadarnya berbeza dari satu negeri dengan negeri yang lain.








Jenis Mahar

a. Mahar Musamma
Mahar yang disebut dengan jelas jumlah dan jenisnya dalam suatu akad nikah
seperti yang diamalkan dalam perkahwinan masyarakat kita pada hari ini.
Ulama’ telah bersepakat bahawa mahar musamma wajib dibayar oleh suami
apabila berlaku salah satu daripada perkara-perkara berikut :-
1) Berlakunya persetubuhan di antara suami isteri.
2) Kematian salah seorang di antara mereka sama ada suami atau isteri.

b. Mahar Misil ( mahar yang sepadan )
Mahar yang tidak disebut jumlah dan jenisnya dalam suatu akad nikah.
Sekiranya berlaku keadaan ini, mahar tersebut hendaklah diqiaskan ( disamakan )
dengan mahar perempuan yang setaraf dengannya di kalangan keluarganya sendiri
seperti adik beradik perempuan seibu sebapa atau sebapa atau ibu saudaranya.
Sekiranya tiada, maka diqiaskan pula dengan mahar perempuan-perempuan lain yang
setaraf dengannya dari segi kedudukan dalam masyarakat dan sekiranya tiada juga,
terpulang kepada suami berdasarkan kepada adat dan tradisi setempat.
Selain daripada itu terdapat perkara-perkara lain yang perlu diambil kira dalam
menentukan mahar misil iaitu dari sudut rupa paras, kekayaan, keadaan setempat,
keagamaan , ketakwaan, keilmuan, kecerdasan fikiran , keluhuran budi serta status
perempuan tersebut sama ada gadis atau janda dan perkara-perkara yang boleh
dijadikan penilaian. Ini kerana kadar mahar berbeza dengan berbezanya sifat-sifat
di atas.



























Mendapat Separuh Mahar Atau Tidak Berhak Mendapat Langsung
Sebagaimana yang kita sedia maklumi , apabila berlakunya suatu akad nikah
yang sah, maka wajib bagi suami membayar mahar kepada isteri sama ada berupa
mahar musamma atau pun mahar misil kerana ia merupakan hak isteri.
Walau bagaimanapun terdapat keadaan yang menyebabkan isteri hanya berhak
mendapat separuh sahaja daripada mahar tersebut atau pun tidak mendapat apa -apa
mahar langsung daripada suami iaitu :-

a) Isteri hanya mendapat separuh sahaja daripada mahar apabila
berlakunya perceraian sebelum persetubuhan. Ini berdasarkan kepada firman Allah
Taala dalam surah al-Baqarah ayat 237 :
“ Dan jikalau kamu menceraikan mereka itu ( isteri-isteri ) sebelum kamu menyetubuhi
mereka walhal kamu telah menetapkan mahar kepada mereka, maka diwajibkan ( bayarannya )
separuh daripada yang kamu tetapkan kecuali jika mereka sendiri memaafkan atau orang yang
mempunyai kuasa perwalian memaafkannya “
Ayat di atas menyatakan bahawa sekiranya mahar isteri telah disebutkan ketika
akad nikah dan berlakunya penceraian sebelum persetubuhan, maka suami hanya wajib
membayar separuh sahaja daripada mahar tersebut. Tetapi sekiranya mahar tidak
disebut ketika akad nikah, suami wajib membayar mahar misil kepada isteri.
Menurut pendapat Imam Syafi’e dan Imam Malik sekiranya berlaku perceraian
sebelum persetubuhan, suami hanya wajib membayar separuh sahaja mahar kepada
isteri sama ada mahar tersebut disebut semasa akad nikah atau sebaliknya.
b) Isteri tidak berhak langsung untuk mendapat pemberian mahar daripada
suami apabila berlakunya perceraian disebabkan fasakh ( dari pihak isteri ) sebelum
berlakunya persetubuhan.

Kesimpulan
Mahar adalah hak isteri yang diberikan oleh suami dengan hati yang tulus ikhlas
tanpa mengharapkan balasan sebagai pernyataan kasih sayang dan tanggungjawab
suami atas kesejahteraan rumah tangga. Ianya bertujuan untuk menggembira dan
menyenangkan hati isteri agar isteri merasa dihargai dan bersedia untuk menjalani
kehidupan bersama suami.Mahar adalah menjadi hak milik isteri. Sekiranya ia tidak disebut sekalipun
Para mujtahidin telah sepakat mengatakan bahawa tidak kadar dan had yang
tertentu dalam meletakkan kadar mahar yang paling maksima. Terdapat satu peristiwa
yang berlaku yang berlaku di zaman Umar al Khattab (r.a) di mana beliau melarang
orang ramai dari meninggikan kadar mahar iaitu tidak boleh lebih daripada empat
dirham katanya, “ Janganlah kamu meninggikan mahar perempuan kerana jikalau
dia dimuliakan di dunia, atau mahu bertaqwa kepada Allah, maka yang lebih utama
ialah contoh daripada Rasulullah yang tidak menetapkan mahar kepada isterinya mahu
pun bagi puteri-puterinya melebihi dua belas auqiah. Oleh sebab itu sesiapa yang
melebihi daripada 440 dirham walaupun lebihannya sedikit maka yang itu dimasukkan
ke dalam Baitulmal “. Lantas seorang perempuan Quraisy membantah sambil
berkata : “ Allah telah berfirman di dalam al-Quran :
mahar, maka jangan kamu ambil walaupun sedikit daripada mahar itu “
( surah al Nisa : 20 )



Semoga apa yang tercoret ini mampu menambahkan pengetahuan dan pemahaman kita terhadap tsaqafah-tsaqafah islam...Insyaallah..........

WAN MOHD KHAIRUL AFIF B ABDULLAH
890415-03-5027